Dusun Tanah Tumbuh, Bungo, Jambi. |
Metos dan lagenda Desa/Dusun Tanah Tumbuh"
Desa/Dusun Tanah Tumbuh merupakan salah satu bagian daerah administratif dari Kecamatan Tanah Tumbuh Kabupaten Bungo, Jambi. Menurut cerita orang tua-tua setempat, Desa/Dusun Tanah Tumbuh pada zaman dahulu dikuasai dan dibawah pemerintahan seorang raja yang bergelar Rio Suku Lamo. Beliau merupakan Kepala Adat yang berkedudukan di Marga Bathin V dan bertempat tinggal di Dusun Teluk Kecimbung. Asal-usulnya ialah dari keturunan Nabi Adam, as dan Siti Hawa, mereka mempunyai 19 orang anak dan 3 orang anaknya menjadi Raja di dunia ini atas permintaan Siti Hawa kepada Nabi Adam, as. Adapun ketiga raja yang dimaksud sebagai berikut:
1. Raja Alep bermukim dan berkuasa di Badaruhum (Turki).
2. Sultan Sri Raja Dipang bermukim dan berkuasa di Bandar China.
3. Sultan Deri Mahraja Dirajakan bermukim dan berkuasa di Mataram (Jawa).
Yang ketiga inilah asal-usul Sultan Tanggimo (Rio Suku Lamo) keturunan dari Datuk Tamenggung dari Mataram (Jawa) dan Putri Rindu dari Pagaruyung (Minangkabau). Sultan Tanggimo mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Putri Selaras Pinang Masak (Puti Buto Hilang Dilaman). Mereka bertempat tinggal di Tanah Pilih (sekarang Jambi), tanah yang dipilih oleh Sultan Tanggimo (Rio Suku Lamo) untuk tempat kedudukan adiknya Putri Selaras Pinang Masak (Puti Buto Hilang Dilaman).
Pada suatu hari Putri Selaras Pinang Masak (Puti Buto Hilang Dilaman) sedang bermain dihalaman rumahnya, setelah hari mendekati waktu dzuhur kakaknya Sultan Tanggimo (Rio Suku Lamo) memanggil adiknya untuk memasuki rumah. Setelah beberapa saat kemudian ditunggu, ternyata adiknya Putri Selaras Pinang Masak belum juga memasuki rumah. Rupanya Putri Selaras Pinang Masak telah menghilang dari halaman rumahnya, sehingga hal ini membuat kecemasan Sultan Tanggimo (Rio Suku Lamo) atas kehilangan adiknya tersebut.
Sehubungan dengan kehilangan adiknya itu dinamakan “Putri Buto Hilang Dilaman”. Pengertian buto (buta) bukanlah putri itu yang buta, tetapi hilangnya tidak diketahui kemana arah perginya. Kemudian Sultan Tanggimo dan didampingi teman-temannya pergilah mencari adiknya berjalan meruang rimba, meniti pematang panjang dan mengikuti aliran sungai. Sehingga sampailah di muara sungai maka ditimbanglah airnya, dimana yang berat menurut timbangannya berarti disungai itulah berada adiknya Putri Selaras Pinang Masak. Setelah berhari-hari perjalanan, maka sampailah rombongan Sultan Tanggimo di muara sungai yaitu Sungai Sarut (Sungai Batang Tebo) sekarang.
Sultan Tanggimo mencoba lagi menimbang airnya dan kebetulan air ini berat timbangannya. Akhirnya diambillah keputusan bahwa adiknya Putri Selaras Pinang Masak (Puti Buto Hilang Dilaman) pasti berada dihulu sungai tersebut. Sultan Tanggimo dan rombongan terus berjalan mengikuti aliran sungai berhenti di Tanjung Aur, berjalan lagi sampai di Lubuk Asam Tinggi. Kemudian mereka menuju ke Teluk Mangelai dan berakhir perjalanannya di Tanah Tinggi (Tanah Tumbuh) sekarang. Sesampai di Tanah Tinggi mereka beristirahat untuk melepaskan lelah, karena seharian melakukan perjalanan mengikuti aliran sungai demi mencari keberadaan adiknya Putri Selaras Pinang Masak.
Setelah beberapa lama beristirahat, maka terdengarlah suara beberapa orang perempuan di hulu sungai yang bersebelahan dengan Tanah Tinggi sedang asik mandi. Sultan Tanggimo dan rombongan tidak lagi membuang waktu, mereka langsung menuju kearah sumber suara itu berada. Sesampai ditempat tersebut Sultan Tanggimo dan rombongan memperhatikan dengan seksama, ternyata adiknya Putri Selaras Pinang Masak ada diantara sekelompok perempuan yang asik mandi kemudik berkecimpung kaki dan kehilir berkecimpung tangan. Dengan asal-usul inilah Sultan Tanggimo membuat nama ditempat ini menjadi Dusun Teluk Kecimpung (Teluk Kecimbung) sekarang. Kelompok perempuan itu berjumlah 7 orang perempuan cantik dan rupawan yang salah satu dari anggotanya ialah Putri Selaras Pinang Masak. Maka di ambillah oleh Sultan Tanggimo adiknya, sedangkan 6 orang perempuan temannya Putri Selaras Pinang Masak menghilang tidak diketahui kemana arah perginya.
Ternyata ke-6 perempuan tersebut merupakan para Dewa. Selanjutnya Sultan Tanggimo beserta rombongan mengantarkan adiknya ke Tanah Pilih (Jambi) sekarang. Setelah beberapa lama ditemukannya Putri Selaras Pinang Masak, Sultan Tanggimo menjodohkan adiknya itu dengan seorang pemuda keturunan raja berasal dari Jawa. Inilah asal Raja Jambi, yaitu Putri Selaras Pinang Masak. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan, Sultan Tanggimo mengadakan musyawarah dengan adiknya, maka dapatlah kata sepakat:
1. Putri Selaras Pinang Masak tinggal di Tanah Pilih (Jambi) untuk menjadi Raja Jambi, yang mulai memerintah pada tahun 1406 M.
2. Sultan Tanggimo kembali ke Tanah Tinggi untuk mengambil wilayah.
Selanjutnya Sultan Tanggimo beserta rombongan berangkat menuju ke Tanah Tinggi untuk memperluas kekuasaanya. Sesampainya di Tanah Tinggi, Sultan Tanggimo mendirikan sebuah dusun ditempat adiknya ditemukan. Dusun itu diberikan nama “Dusun Teluk Kecimbung” yang berasal dari kata Teluk Kecimpung, sesuai dengan asal mulanya ditemukan Putri Selaras Pinang Masak yang sedang asik mandi berkecimpung. Kemudian Sultan Tanggimo kembali ke Tanah Tinggi dan ditempat ini tumbuhnya pikiran untuk mendirikan sebuah dusun serta bertempat tinggal menetap. Inilah asal mulanya “Dusun Tanah Tumbuh”, yaitu dari pemikiran yang tumbuh dari Sultan Tanggimo untuk mendirikan sebuah dusun. Tanah Tumbuh mempunyai arti pemikiran yang sangat luas. Dan Sultan Tanggimo juga menamakan Sungai Sarut yang bersebelahan dengan Tanah Tinggi dengan nama “Sungai Batang Tebo”.
Berjalannya waktu, datang pula Cik Ali beserta rombongan dengan Perahu Kajang dari wilayah Palembang. Adapun maksud kedatangannya untuk mencari tempat untuk dijadikan dusun (daerah kekuasaan). Ia tidak menyangka bahwa telah ada yang menempati wilayah yang akan mereka lalui mengikuti aliran Sungai Batang Tebo. Dalam perjalanan Cik Ali dan rombongan menemukan sehelai puntung Damar yang hanyut, ini sebagai tanda wilayah yang mereka lalui telah dikuasai. Di Tanah Tinggi mereka merapatkan perahunya sekaligus ingin mengetahui siapa yang telah menguasai wilayah yang dikunjungi. Maka bertemulah rombongan Cik Ali dengan Sultan Tanggimo beserta penduduknya. Kedatangan Cik Ali dan rombongan disambut baik oleh Sultan Tanggimo dan dengan perundingan bersama dapatlah kata sepakat Cik Ali dan rombongan pengikutnya diberikanlah wilayah kekuasaan oleh Sultan Tanggimo untuk melakukan perkembangan kehidupan.
Wilayah itu terletak dihilir Sungai Sarut (Batang Tebo), disini Cik Ali diperintah untuk bepedukuh (berladang/ bertani). Dan inilah asal-usul berdirinya “Dusun Pedukun”, dan kepala dusunnya diberi gelar “Rio Ali”. Sedangkan sebahagian rombongan Cik Ali ditempatkan oleh Sultan Tanggimo diwilayah hulu Sungai Sarut (Batang Tebo) yang bersebelahan dengan Dusun Teluk Kecimbung untuk berdusun panjang. Kemudian rombongan Cik Ali inilah asal-usul berdirinya “Dusun Panjang”, dan kepala dusunnya diberi gelar “Patih”. Kedua kepala dusun (Rio Ali dan Patih) yang berkuasa dimasing-masing wilayah yang sudah ditetapkan, harus mematuhi perintah dan peraturan yang dibuat oleh Sultan Tanggimo selaku Rio Suku Lamo pemegang kekuasaan penuh di Tanah Tinggi (Tanah Tumbuh).
Semenjak tahun 1986–2009 (23 Tahun) menjadi kelurahan, Desa/Dusun Tanah Tumbuh tidak memiliki perubahan yang signifikan, terutama dalam bidang pembangunan struktural dan infrasruktural. Hal ini disebabkan alokasi anggaran dana pembangunannya tidak mencukupi, karena Kelurahan Tanah Tumbuh terdiri dari dua buah desa/dusun yang menyatu. Yaitu Desa/Dusun Koto Jayo sebagai Rukun Warga (RW/01) yang membawahi 4 (empat) Rukun Tetangga (RT/01, RT/02, RT/03, dan RT/04), dan Desa/Dusun Tanah Tumbuh sebagai Rukun Waraga (RW/02) yang membawahi 5 (lima) Rukun Tetangga (RT/05, RT/06, RT/07, RT/08, dan RT/09). Secara praktis alokasi anggaran dana yang diterima dari pemerintah pusat harus dibagi dua, sehingga tidak tercukupi kebutuhan dari masing-masing desa/dusun. Mengingat sangat lambannya kemajuan pembangunan di Kelurahan Tanah Tumbuh, maka pada tahun 2007 Desa/Dusun Koto Jayo memisahkan diri dari kelurahan menjadi sebuah desa/dusun yamg mandiri yang mempunyai otonomi.
Setelah pemisahan dari kelurahan dilakukan, maka Desa/Dusun Tanah Tumbuh menjadi satu-satunya desa/dusun yang dinaungi oleh kelurahan. Maka pada waktu itu Desa/Dusun Tanah Tumbuh dibagi menjadi dua RW (Rukun Warga). Yaitu RW/01 yang membawahi 3 (tiga) Rukun Tetangga (RT/01, RT/02, dan RT/03), dan RW/02 juga membawahi 3 (tiga) Rukun Tetangga (RT/04, RT/05, dan RT/06). Namun, kemandirian Desa/Dusun Tanah Tumbuh menjadi kelurahan tidak membuat perubahan yang signifikan. Pemberdayaan masyarakat ataupun pembangunan infrastruktural juga belum memadai. Dalam hal ini masyarakat tidak mendapatkan andil yang besar, apalagi untuk melakukan intervensi terhadap pemerintah kelurahan.
Pemerintah kelurahan tidak memiliki otonomi dalam mengatur roda pemerintahannya, ataupun dalam pengelolaan alokasi anggaran dana. Kelurahan merupakan perpanjangan tangan pemerintah kecamatan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pejabat publik. Semua aparatur pemerintah kelurahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dalam kinerjanya yang masih sentralisasi (komando). Dengan demikian, pembangunan dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat hanya menerima dan menunggu apa yang diberikan ataupun diinstruksikan oleh Pemerintah Kabupaten. Dalam struktur organisasi kelurahan masyarakat tidak memiliki andil dan intervensi. Masyarakat desa/dusun setempat hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan internal setingkat desa/dusun saja.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan eksternal diselesaikan dan dilaksanakan oleh pejabat pemerintah kelurahan. Pelaksanaan ini selaras dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai perpanjangan tangan pemerintah kecamatan dalam tatanan sebuah birokrasi pemerintahan. Berbagai hal penting yang harus dilaksanakan dalam memberdayakan masyarakat tidak mungkin dapat terlaksana. Karena dalam struktural organisasi pemeritah kelurahan, tidak adanya keterlibatan dari masyarakat. Penyerapan alokasi anggaran dana dari APBD juga hanya digunakan untuk biaya operasional dari pemerintah kelurahan saja. Tidak ada anggaran dana khusus yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. Walaupun ada hanya berupa bantuan pembangunan infrastruktur dari Pemerintah Daerah dan pengelolaannya langsung dari instansi terkait. Masyarakat bukanlah pelaku utama dan juga tidak mendapatkan ingkam (pendapatan) bagi mereka.
Mengingat dan menimbang berbagai macam permasalahan yang terjadi diatas, akhirnya masyarakat berinisiatif dan duduk bersama (musyawarah) dengan pejabat pimpinan di desa/dusun untuk mengusulkan ke Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melakukan perubahan status kelurahan menjadi desa/dusun. Selama menjadi kelurahan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap masyarakat terutama dalam pembangunan desa/ dusun. Dengan usaha dan tekat dari masyarakat yang bersinergi dan berkoordinasi dengan Pemerintah Kelurahan, pada waktu itu dipimpin oleh bapak M. Alwi. HS, maka pada tahun 2009 status kelurahan beralih fungsi menjadi Desa/Dusun Tanah Tumbuh yang mempunyai otonomi. Disamping itu juga bersinergi dengan Pemerintah Kecamatan, pada waktu itu dipimpin oleh bapak Drs. Sobraini. HS dan juga bersinergi dengan Pemerintah Kabupaten, pada waktu itu dipimpin oleh
Bapak H. Zulfikar Achmad sebagai pemimpin yang mempunyai lobi politik yang cukup menjanjukan terhadap Pemerintah Pusat.
Perubahan ini sangat memberikan nilai tambah untuk masyarakat, disamping memiliki otonomi baik dalam alokasi anggaran dana, proses percepatan pembangunan struktur dan insfrastruktur desa/dusun, pengelolaan dana, dan sebagainya. Tetapi pimpinan desa/dusun dapat direkrut dari masyarakat asli setempat. Dan dipilih secara langsung melalui Pilkades/dus (Pemilihan Kepala Desa/Dusun) yang dilaksanakan secara demokratis sebagai amanat reformasi. Kepala Desa/Dusun terpilih dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya akan bersinergi langsung ke Pemerintah Daerah, Provinsi dan Pusat. Tanpa harus intervensi dari Pemerintah Kecamatan setempat. Pemerintah Desa/Dusun telah diberikan otonomi seluas-luasnya sama dengan otonomi yang dimiliki Pemerintah Daerah sesuai dengan batasan-batasan yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Sumber Bacaan : Mawar Dani
Comments